Artikel oleh Alem Maulana Wulida Finnahar
Pengantar
Di Lintau Buo Utara, Sumatera Barat, tradisi talam ampek sejak lama menjadi bagian penting dalam upacara adat pernikahan Minangkabau. Dulang berisi empat sajian yaitu wajik, sikuning, siputiah, dan pinyaram bukan sekadar hidangan pesta, melainkan simbol tatanan moral dan keseimbangan sosial dalam masyarakat adat. Masing-masing sajian mengandung pesan filosofis: keteguhan, kebijaksanaan, kesucian, dan keberanian. Nilai-nilai itu menegaskan bagaimana kebersamaan dan tanggung jawab dijaga melalui bahasa simbol yang diwariskan lintas generasi.
Namun, seiring waktu, makna tersebut semakin kabur. Modernisasi dan pola hidup praktis membuat tradisi ini kehilangan daya hidupnya. Generasi muda lebih akrab dengan budaya digital dibanding makna simbolik yang terkandung dalam talam ampek. Tradisi yang dahulu menjadi ruang pendidikan moral kini cenderung diperlakukan sebagai pelengkap seremoni. Pergeseran ini menunjukkan gejala yang lebih dalam: melemahnya kesadaran budaya di tengah arus modernitas yang seragam dan dangkal.
“Filosofi talam ampek dalam, tidak cuma buat pernikahan,” ujar Yonita Azwina, seorang bundo kanduang dari Lintau Buo Utara. “Tradisi ini adalah nadi kolektif yang kini mulai kehilangan detaknya.” (Azwina, 2025). Pernyataan itu menohok. Ketika tradisi kehilangan ruang hidupnya, yang rapuh bukan hanya ritual, tetapi kesadaran kolektif sebuah bangsa.
Talam ampek adalah representasi moral yang dihidangkan dalam bentuk makanan. Wajik melambangkan keteguhan pemimpin adat, sikuning menjadi simbol kebijaksanaan manti, siputiah menandai kesucian malin, dan pinyaram mewakili keberanian dubalang. Empat unsur itu membentuk tatanan sosial Minangkabau yaitu seimbang, hierarkis, dan saling menopang.
Simbol-simbol ini bukan sekadar tradisi kuliner, tetapi mekanisme pendidikan budaya. Dalam setiap prosesi, masyarakat diajak memahami peran dan tanggung jawab sosialnya melalui tindakan simbolik. Seperti dijelaskan Sinta (2022), simbol budaya adalah sarana komunikasi yang merepresentasikan kesepakatan makna dalam kehidupan kolektif. Dalam konteks talam ampek, nilai itu bukan hanya disampaikan, tetapi dihidupi melalui ritual, gotong royong, dan penghormatan antar keluarga.
Sekarang, makna itu direduksi oleh logika praktis. Banyak keluarga mengganti isi talam ampek dengan bahan mentah, “biar tak mubazir” sebuah alasan yang tampak rasional tetapi secara kultural berbahaya (Azwina, 2025). Pilihan ini tampak sederhana, namun secara simbolik mencerminkan pergeseran nilai. Menurut Kistanto (2017), kebudayaan lahir dari kesadaran dan pengalaman, bukan dari efisiensi. Saat kesadaran itu memudar, tradisi hanya akan menjadi “kulit luar yang rapuh bagaikan talam tanpa isi”. Di sinilah absurditas modernitas bekerja. Tradisi yang dulu membentuk karakter kini diperlakukan seperti dekorasi sosial. Talam ampek yang seharusnya menjadi “bahaso raso jo pareso”.
Masalah ini tidak berdiri sendiri. Negara ikut berperan dalam pelupaan budaya. Pemangkasan anggaran kebudayaan sebesar 58% pada 2025 menjadi bukti bahwa pelestarian budaya tidak pernah menjadi prioritas nasional (OfficialSINDOnews, 2025). Di atas kertas, pemerintah bicara tentang pemajuan kebudayaan, tapi dalam praktiknya, yang dipangkas bukan sekadar dana, melainkan ruang hidup nilai-nilai lokal.
Kebijakan itu menunjukkan betapa rapuhnya posisi kebudayaan di tengah politik pembangunan yang serba kuantitatif. Jika uang menjadi ukuran utama, maka tradisi seperti talam ampek akan selalu kalah oleh proyek-proyek modernisasi yang menjanjikan hasil cepat dan tampak produktif. Padahal, yang membangun bangsa bukan hanya beton dan baja, tetapi juga makna yang mengikat manusia di dalamnya.
Kebijakan semacam ini menggerus ruang hidup tradisi lokal. Dalam konteks talam ampek, dampaknya terasa jelas yaitu keterbatasan dukungan terhadap komunitas adat dan minimnya program pendidikan budaya. Jika negara terus memandang kebudayaan sebatas urusan seremonial, maka warisan seperti talam ampek akan terus kehilangan tempat dalam kesadaran publik. Ketiadaan komitmen negara bukan hanya mempercepat pelupaan budaya, tetapi juga memperlemah identitas kolektif bangsa yang seharusnya tumbuh dari akar tradisinya sendiri.
Perempuan Minangkabau sejak lama memegang peran penting dalam pelestarian adat. Mereka bukan hanya pelaku ritual, tetapi juga penjaga tafsir simbolik. Saat bundo kanduang menjunjung talam ampek di atas kepala, yang mereka bawa bukan sekadar sajian, tetapi sejarah dan tanggung jawab sosial. Perempuan Minangkabau bukan hanya penjunjung talam ampek, mereka adalah penjaga bara kebudayaan. Dalam diam mereka menjaga makna, menjadi penopang simbolik sebagaimana akar beringin mencengkeram tanah. Azwina (2025) menegaskan, “kami adalah pelindung bara budaya.”
Pelestarian talam ampek tidak bisa hanya diserahkan kepada nostalgia. Tradisi perlu beradaptasi tanpa kehilangan roh. Strateginya bukan memodernkan simbol, tapi menanamkan maknanya di ruang baru. Seperti disarankan Satria & Erlando (2018), festival budaya dan kurikulum sekolah bisa menjadi medium efektif menghidupkan nilai lokal di tengah dunia digital.
Revitalisasi tradisi tidak bisa berhenti pada seremoni atau lomba budaya tahunan. Diperlukan keterlibatan komunitas adat dan lembaga pendidikan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa talam ampek adalah warisan nilai, bukan sekadar objek pariwisata. Pemerintah, media, dan akademisi harus berperan aktif menafsirkan ulang maknanya agar pelestarian ini menjadi upaya memperkuat jati diri dan kebanggaan kultural Minangkabau di tengah arus global yang seragam.
Digitalisasi tradisi pun penting, tapi harus diarahkan sebagai media pembelajaran, bukan sekadar hiburan. Aplikasi interaktif yang mengajak pengguna menyusun empat jamba virtual mungkin terdengar sederhana, tetapi jika diiringi narasi filosofis, ia bisa menjadi jembatan antara kebijaksanaan lama dan generasi baru.
Seperti ditegaskan Nuryanti, Mukaromah, & Mubin (2024), kebudayaan hanya akan hidup jika terjadi dialog antara kearifan tua dan kreativitas muda. Tradisi seperti talam ampek memerlukan ruang perjumpaan antara warisan dan pembaruan agar tidak membeku sebagai simbol masa lalu. Tanpa dialog itu, tradisi hanya akan tinggal nama, warisan berubah menjadi arsip, dan bangsa perlahan kehilangan jati dirinya di tengah arus modernitas yang seragam.
Penutup
Talam ampek bukan benda mati. Ia adalah teks hidup yang menulis identitas masyarakat Minangkabau tentang keseimbangan, tanggung jawab, dan kasih sayang lintas garis darah. Jika tradisi ini hilang, maka yang punah bukan hanya ritual, melainkan cara pandang yang menuntun manusia memahami dirinya.
Kini, dulang itu memang tampak utuh, tetapi kosong di dalamnya. Yang hilang bukan siputiah atau wajik, melainkan kesadaran akan maknanya. Maka, menjaga talam ampek berarti menjaga kemampuan kita untuk memberi arti pada kehidupan sosial. Selama masih ada tangan yang mau menata kue di atas daun pisang dan hati yang memahami maknanya, tradisi ini belum mati. Ia hanya menunggu generasi yang mau kembali menyentuhnya bukan dengan kamera, tetapi dengan rasa.
Lintau, 14 Juli 2025
Daftar Pustaka
Azwina, Y. (2025, Juni 2). Makna Talam Ampek bagi Generasi Muda. Wawancara Pribadi, Lintau Buo Utara, Sumatera Barat.
Finnahar, A. M. W. (2025). Tradisi Talam Ampek di Nagari Tapi Selo Kecamatan Lintau Buo Utara. Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Kistanto, N. H. (2017). Tentang Konsep Kebudayaan. Sabda Jurnal Kajian Kebudayaan UNDIP, 1–11.
OfficialSINDOnews. (2025, Februari 7). Fadli Zon Ungkap Anggaran Kementerian Kebudayaan Dipangkas. [Video YouTube].
Nuryanti, Mukaromah, S., & Mubin, N. (2024). Pengaruh Globalisasi terhadap Identitas Budaya Lokal dan Dinamika Sosial Masyarakat di Dieng Wonosobo. Jurnal Sains Student Research, 241–245.
Satria, D., & Erlando, A. (2018). Ekonomi Festival. Malang: Universitas Brawijaya Press.


0 Komentar